Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar,
maka jadilah penulis.— Imam Al-Ghazali
Tuntaslah sudah jika pandangan itu dipakai semua orang yang bukan keturunan raja dan bukan pula sebagai anak ulama besar dengan dalih sebagai penulis. Maka muncullah orang yang menganggap dirinya penulis itu di dinding facebook, twitter, blog dan beberapa sosial media yang banyak itu—yang mungkin di antara mereka bukanlah anak raja dan ulama, karena anak presiden saja tidak menulis, malah jadi Vloger. Terlepas siapa dan anak siapa, semua orang berhak untuk menulis apapun. Banyak orang yang meyakini bahwa menulis merupakan salah satu cara untuk menghilangkan atau meredam kegelisahan-kegelisahannya terhadap suatu perkara. Semisal, orang akan menulis kegelisahan tentang temannya yang sulit ditagih utang, pacarnya yang jalan dengan temannya, atau asal-muasal nama panggilan dan bahkan umur nama pena yang pendek karena telah putuh hubungan dengan si pemberi nama tersebut.
Dani Maulana dalam Opini si Karung Goni mencoba menyampaikan hal yang serupa. Hal-hal yang sepele diangkatnya kepermukaan dan disampaikan dengan cara yang berbeda dari tulisan opini pada umumnya. Sisi lain yang coba digerat Dani dalam tulisannya, tidak melulu berangkat dari hal yang serius. Bisa saja berangkat dari toilet, angkutan, parkir, dan beberapa hal lain yang disampaikan melalui cerita yang meloncat, bahkan melipir pada pembahasan lain—mungkin yang agak serius itu terkait nikah dalam buku ini.
Buku yang berisi 15 tulisan ini patut mendapat acungan jempol, karena tidak hanya bersarang dalam dinding Facebook semata. Tulisan-tulisan Dani yang tidak jauh dari sekitar kehidupan pada umumnya, dibuat seolah-olah menjadi “dunia lain” meskipun dengan gaya penyampaian yang agak ngawur. Gaya itulah yang mungkin dianggap Encep Abdullah sebagai hasil perenungan dari premis yang disebelumnya ditempel di dinding facebook.
Pembacaan awal, kita akan melihat dengan saksama opini penulis tentang nama samaran. Kita akan coba membayangkan banyak nama lain yang melekat pada diri kita atau orang terdekat. Menyoal nama samaran, semoga tidak terdapat kekeliruan di dalamnya, karena nama samaran, nama pena, nama panggilan, dan nama-nama lainnya, tentu saja berbeda penempatan dan kegunaannya.
Pada lompatan cerita yang lain, tulisan Dani cukup unik untuk menyampaikan opininya. Paradoks terkait angkutan kota Serang, jomblo yang telat menikah, dan penggalan lainnya cukup menggelitik pembaca. Cara Dani yang nyeleneh, semata-mata untuk membungkus tulisannya agar tidak garing di kerongkongan saat dibaca, tidak jarang membuat pembaca gagal paham terkait maksud dari tulisannya.
Kemudian, pada bab nikah (maksud saya dalam judul nikah), pembaca terutama saya dibuat gagal paham.
11 September 2016, pagi hari yang berisik oleh sebab ibu-ibu yang datang ke rumah. Ibu siapa, sih, itu? Aku harap salah satunya bukan ibunda Sangkuriang. Ibu yang paling aku takuti sedunia, ibu yang memilih mengutuk daripada membalas tidak mengakuinya sebagai anak. (halaman 48—Nikah)
Apa yang salah dari Ibunda Sangkuriang? Apakah Dayang Sumbi mengutuk? Mengutuk siapa? (Mengapa saya jadi terpikir cerita Malin Kundang yang dikutuk ibunya?)
Beberapa penggelan cerita lainnya, bisa menjadi sebuah catatan yang perlu diperhatikan. Tulisan-tulisan Dani seolah memberi petuah dengan cara yang verbal—terkesan menceramahi pembaca dengan pesan yang dia tulis dalam buku ini. Sekilas, tulisan tersebut diperuntukan kepada pembaca yang tidak banyak banyak tahu tentang sesuatu yang ditulis Dani. Gaya semacam itu, bisa saja “menjerumuskan” penulis ke dalam lembah “kepuasaan” berkuasa dalam karyanya.
Lompatan cerita yang mulanya dianggap sebagai bumbu penyedap tulisan Dani, perlu sekiranya ditimbang kadarnya. Jangan sampai terlalu banyak bumbu ketimbang bahan pokok masakannya. Memilah mana yang penting untuk disampaikan, meskipun secara tersirat. Premis-premis yang encer terkadang membuat tulisan menjadi “miring” untuk dikonsumsi secara luas, terlebih setelah tulisan menjadi sebuah buku. Pada sisi lain, kemiringan yang ditunjukan Dani menjadi sebuah alternatif untuk mengulas sesuatu dengan cara yang berbeda dari biasanya. Alih-laih sebagai daya tawar buku ini kepada pembaca.
Penulis adalah Mahasiswa Bahasa Indonesia Pascasarjana UPI Bandung