Oleh: Munawir Syahidi*
Jika mendengar kerajaan Salaka Nagara maka pikiran kita akan tertuju ke daerah Mandalawangi yang memiliki situs pemandian yang merupakan peninggalan kerjaan Salaka Nagara, menurut tuturan seorang yang bergelut dibidang sejarah Yadi Ahyadi dia berpendapat jika tentang kerjaan Salaka Nagara mengapa ada di daerah Mandalawangi ini dimungkinkan terjadi karena berhubungan dengan letusan Gunung Krakatoa pada zaman kerajaan itu ketika masih berdiri, dipindahkan dari pusatnya yang dekat dengan laut dan Gunung Krakatoa ke daerah yang lebih tinggi menghindari gelombang tsunami yang disebabkan oleh letusan Krakatoa dan kemungkinan dipilihlah Gunung Pulosari Mandalawangi.
Ternyata jika kita membaca keterangan-keterangan yang berhubungan dengan Salaka Nagara yang raja pertamanya Dewawarman yang datang pertama kali menggunakan perahu bercadik ke sebuah pelabuhan besar pada masa itu bernama Teluk Lada[1] yang berada di daerah Kecamatan Panimbang, yang menurut keterangan Karsono seorang masyarakat yang berasal dari Teluk Lada menyuturkan jika di masyarakat Teluk Lada Masyarakat Nelayan jika akan melaut mereka memasukan kaki mereka pada sebuah tapak yang disebut sebagai tapak Aki Tirem, Nama seorang lelaki yang kemudian anaknya menikah dengan Dewa Warman.
Mengambil penjelasan dari buku yang ditulis oleh Drs.H.Halwany Michrob,M.Sc dan Drs. H. A. Mudjahid Chudari pada buku Catatan Massalalu Banten cetakan ke empat 2011 dengan editor Mufti Ali, Ph.D yang dicetak DISBUDPAR Prov.Banten pada halaman 35 dijelaskan berdasarkan penyelidikan Prof.Ir. Anwas Adiwilaga, di Pulau Panaitan sekitar tahun 130 M pernah berdiri sebuah kerajaan tertua di Jawa Barat. Kerjaan tersebut adalah kerajaan Salakanagara yang berarti negeri perak yang kemudian kita dapat mengenal asal mula pelabuhan di Pulau Jawa, pelabuhan Merak, memerak?. Pusat kerajaan Salakanagara berada di Rajatapura, yang berada di pesisir barat Kabupaten Pandeglang saat ini. Raja pertama kerajaan ini adalah Dewawarman I (130-168 M) Daerah kekuasaanya meliputi: Kerajaan Agrabinata (di Pulau Panaitan), Kerajaan Agnynusa (di Pulau Krakatau), dan daerah ujung selatan Sumatra. Dengan demikian seluruh Selat Sunda dapat dikuasai Dewawarman I. Sehingga dewawarman diberi gelar Haji Raksa Gapurasagara yang berarti raja penguasa gerbang lautan, (Yogaswara,1978:38). Dengan ditemukannya patung Ganesha dan patung Shiwa di lereng Gunung Raksa, Pulau Panaitan, maka dapatlah diduga jika masyarakatnya beragama Hindu Shiwa.
Pulau Panaitan merupakan pulau yang langsung berhubungan dengan Selat Sunda bersama pulau Peucang, luasnya sekitar …. dan termasuk kawasan Taman Nasional Ujung Kulon. Penelitian Geologi di Pulau Panaitan menunjukan bahwa Pulau Panaitan telah ada sejak kurang lebih 26 juta tahun yang lalu, apabila dilihat dari umur batuan yang paling tua. Pada berbagai singkapan, tampak bahwa Panaitan tersusun dari jenis-jenis batuan andezite, tuffa, gamping dan yang termuda batuan aluvial.
Data arkeologi arkeologi dari Pulau Panaitan berupa arca Siwa, Ganesha dan lingga semu/lingga patok. Meskipun Arca Shiwa ini pernah hilang dicuri, namun kemudain arca tersebut dapat kemabali diamankan dan sekarang disimpan di Museum Negeri Sri Badhuga, Bandung, dengan nomor invertaris 306.2981. Arca ini berukuran tinggi 76,5 cm, lebar dan tebal maksimum 32,5 cm dan 24 cm, dibuat dari batuan andezitik.
Banten sebagai sebuah provinsi yang menuju arah pembangunan dengan usia hampir lima belas tahun mungkin sudah bisa membuat sebuah museum arkeologi yang keberaddaanya tentu akan menjadi semangat tersendiri bagi para peneliti untuk menggali masalalu Banten yang pasti memiliki keunikan tersendiri. Keberadaan museum akan menjadi ciri kebesaran Banten masalalu dan untuk membangun Banten pada masadepan.
Arca Shiwa yang ditemukan di Panaitan sering dikatakan berbentuk statik dan sederhana, tidak sama dengan penggambaran Dewa Shiwa pada umumnya. Hal lain dari arca ini adalah tangan belakang yang memegang trisula dipahat langsung pada sandaran arca di belakang kepala. Kedua tangan bagian depan bersikap varadamura dan memegang padma memakai selempang pola pita lebar.
Arca Dewa Shiwa Pulau Panaitan ini bermahkota tanpa candrakapala, mata terpejam, besaran kepala tidak proporsional apabila dibandingkan dengan postur tubuh, dalam posisi duduk di atas nandi yang juga menghadap frontal. Sikap duduknya digambarkan kurang lazim, bukan yogamudra atau semi yogamudra, karena kedua telapak kaki dipertautkan dalam posisi bersila dengan ujung-ujung jari kaki “jinjit” di atas kepala nandi. Arca Shiwa tersebut diduga oleh para arkolog berasal dari abad ke-7 Masehi, suatu abad memuncaknya kesenian Hindu di pesisir utara Jawa Barat (Cibuaya) dan pedalaman (Cangkuang).
Sementara itu, Arca Ganesha Pulau Panaitan meskipun digambarkan tanpa mahkota, namun penggambaran bagian-bagian utama/umum tubuhnya cukup lengkap. Ganesha ini digambarkan dalam ukuran tidak proporsional, duduk di atas batur. Belalainya menjuntai kemudian lengkung ke arah tangan kiri. Sedangkan pada lingga semu tidak didapati atribut sebagai lambang emanasi Shiwa, sehingga lingga Pulau Panaitan ini dianggap berfungsi sebagai patok batas tanah.[2]
Dari adat istiadat yang tersisa dan dipraktikan oleh Masyarakat sebelum akhirnya hilang karena penguatan akidah dalam agama Islam, tetapi masih bisa dituturkan oleh masyarakat sekitar Taman Nasional Ujung Kulon, di desa Cimanggu jika orang terdahulu mereka ada yang masih melakukan ritual “Nyawen” sebuah ritual yang dilakukan ketika akan memulai menanam padi di huma, menggunakan kayu pacing dan sulangkar, serta beberapa sarat lain, bambu bunar yang ditancapkan di bagian tengah, dan akan memulai menanam pada bagian itu.?. dapat dijadikan alasan tentang pernah adanya jejak Hindu-Budha di sekitar Cibaliung, Panaitan, Taman Nasional Ujung Kulon.
[1] Wikipedia
[2] Halwany Michrob. Dan A. Mudjahid Chaudori. 2011. Catatan Masalalu Banten. DISBUDPAR, Banten.
*Penulis adalah Masyarakat Cibaliung sebagai pengelola TBM Cahaya Aksara.