Ini adalah cerpen bagian ke empat “Menghitung detik demi kamu” Kalau yang belum baca bagian sebelumnya silahkan klik DISINI
____
Kepulannganku disambut sukacita oleh Ibuku, nampak dia sangat bahagia sekali, dia tatap wajah yang pernah ia lahirkan dengan bahagia, dia ciumi wajah yang sejak dulu selalu dirindukannya, dia peluk tubuh yang dahulu dia gendong dan pangku penuh dengan kasih sayang. Akhirnya meneteslah air mataku dan air matanya.
Aku pandangi sekeliling, rumah yang tidak pernah berubah, nampak semakin kusam dan tua, hanya beberapa pohonan nampak semakin meninggi, rumah yang mengisyaratkan kesunyian.
Aku duduki kursi yang sama, yang sudah tampak rusak pada beberapa bagian. Tapi itulah kenyamanan yang tidak dapat aku raih di semua tempat. Rumah yang ketika dewasa malah mengajarkan luka dan sakit hati ketika aku semalaman terjaga karena mendengarkan ibu menangis sepanjang malam waktu itu. Yang menyebabkan aku benci rumah dan semua tentang bapak, lelaki yang membuat ibu menangis sepanjang malam. Aku sayang ibuku maka aku biarkan dia sendiri menelan kepahitan. Karena yang ibu inginkan saat itu adalah aku harus pergi jauh dan berpendidikan tinggi, memiliki ilmu pengetahuan, teguh dan kuat, dia bilang supaya tidak seperti dirinya, maka dengan berat hati aku tinggalkan ibu dan rumahku.
Hari ini aku telah kembali, ruang tamu tidak ada yang berubah, dapur kamarku yang nampaknya selalu ibu bersihkan, mungkin sesekali dia tidur di kamarku. Juga dia membiarkan baju putih abu yang penuh warna-warni itu tergantung begitu saja. Poto bersama teman kelas yang sekarang nampak kusam.
Hari ini, ibu masuk lodeh jantung kesukaanku, rasanya ingin segera melahapnya, ketika wanginya tercium hidung. Aku bantu ibu memasak, untuk yang pertama kali aku perlakukan perempuan istimewa itu dengan istimewa.
Waktu di rumah begitu terasa cepat, pagi ini aku sudah ditemani ibu di pinggir jalan untuk menunggu mobil umum yang akan membawa saya ke Serang Ibukota Provinsi Banten, dari sana aku langsung naik bus menuju Bandung.
Sepanjang perjalanan aku hanya menyaksikan pemandangan, aku kenangkan lagi kebahagiaan ibu tentang kabar baik yang aku sampaikan, aku telah wisuda dan telah dapat pekerjaan, Ibu sempat kecewa karena aku tidak memberitahunya tentang wisuda, namun setelah aku berikan alasan bahwa aku ingin pulang dan memberikan kabar setelahnya dia mau mengerti juga.
Sepanjang perjalanan kembali ke Bandung membuat aku semakin yakin tentang perubahan hidup yang harus aku lakukan. Aku insyaf?. Aku memilih kembali pada petuah ibu? dan guru ngajiku di kampung? ya aku akan memilih itu.
Kantuk yang menyerang membuat aku tertidur, tapi tidur di bus tidak sepenuhnya nyaman. Aku yang tertidur biasa telanjang bulat ini tidak akan seratus persen nyaman tidur di bus.
Aku buka gaway, aku mencari sesuatu untuk menghilangkan kebosanan, mataku terbelalak, di pesan whatsApp ada wajah Iqbal dengan sederet kalimat.
” Assalamualaikum, Cha selamat berhari minggu, sudah sehatkah? Semoga besok kita bisa bertemu di kantor karena ada yang harus diselesaikan di bidang yang kita tangani …..”
Aduhai, jariku menjadi kaku, fikiranku menjadi kaku, aku tidak percaya, berkali-kali aku lapalkan kata-kata yang berderet pada pesan whatsApp tersebut, ini bukan mimpi, ini benar adanya.
Aku mencoba mencoba membalas pesan tersebut, Berkali kali aku ketik dan aku hapus kembali, aku takut salah, mengungkapkan sesuatu, akhirnya aku balas pesan tersebut,
“Walaikim salam, Saya lagi di perjalanan menuju Bandung Pak, kemarin pulang ke kampung, besok saya siap menerima arahan dari bapak”
Terkirim, ceklis dua, belum di baca, tanda ceklis dua berubah menjadi biru, tandanya pesan di baca, dan aku berharap akan segera dapat respon, aku pandangi gaway, belum juga ada balasan, tidak ada balasan, aku pandangi lagi layar gaway, memang tidak ada balasan. Mungkin dia sedang sibuk pikirku dengan sediktit kecewa, kecewa pada sesuatu yang tak pantas aku kecewakan karena aku tidak berhak untuk kecewa.
Tapi jelas aku ingin berkomunikasi lagi dengan Iqbal yang menjadi atasanku di kantor, aku kirim motion dua tangan yang seperti menyembah, kemudian, ceklis dua, berubah warna menjadi biru menandakan pesan terbaca, tapi juga tidak ada balasan.
Aku harus belajar kecewa, keinginan yang sederhana menjadi sesuatu yang luar biasa karena penuh dengan perasaan, aku jadi mentertawakan diriku sendiri.
Bus melaju cepat, tapi tidak secepat pikiranku, tentang Iqbal lagi, membekas lagi serupa mozaik apa yang pernah terlewati, saat aku menghalangi jalan keluarnya, saat aku gelisah menunggu dia lewat didepan mejaku, saat aku sengaja mengikutinya ke musola, saat dia duduk dan berkenalan denganku, ah semua terbayang begitu jelas dikepala.
Aku buka lagi, chat yang tak terbalas itu. Aku turun di terminal, memanfaatkan mode transportasi online, aku melaju menuju kontrakan.
Dikontrakan aku rebahkan tubuhku yang terasa kaku. Kembali aku buka pesan dari Iqbal masih berharap Iqbal merespon. Tapi sia-sia.
Suara adzan dzuhur berkumandang, aku segera melaksanakan salat dan setelahnya tertidur sampai asar.
Hujan turun rintik-rintik, dari kaca jendela yang tidak dapat dibuka itu pandangi hujan yang turun.
Aku baru meraskan kegelisahan yang luar biasa, menunggu pesan terbalas, dan merasa kecewa karena tahu pesan terbaca tapi tidak dibalas.
Sore itu tidak ada yang lebih penting dari pesan Iqbal. Lelaki luar biasa yang mungkin akan mengubah jalan hidupku.
Malam itu, aku sibuk memilah pakaian dilemari, pakaian yang tidak layak dengan jalanku yang baru ini akan aku buang, jalan baru? bukan jalan yang dulu pernah aku tinggalkan.
Beberapa masih sangat baru, masih aku ingat dimana dibelinya dan dengan siapa membelinya, urusan harga aku tidak tahu, karena baju-baju itu dari lelaki kesepian yang juga salah jalan. Yang membayarkan seluruh kesenangannya.
Sudah beres, aku buka gaway dan mulai berselancar mencari pakaian yang pantas dipakai untuk setidaknya menjadi wanita muslimah. Apakah ini perkara Iqbal? mungkin.
Pagi itu aku bersemangat sekali, salat subuh mandi dan berpakaian rapi. Rok panjang, baju tangan panjang, kerudung rapi berwarna putih menyesuikan dengan warna baju. Aku pandangi diriku di cermin aku tersenyum. Sudah tidak ada Instagram, aku sudah mau melupakan itu.
Sesampainya dikantor, yang pertama kali merasa aneh dengan penampilanku adalah pak satpam, aku hanya tersenyum saja menyadari itu, dengan kaku dia akhirnya tersenyum juga.
Di bagian costumer kantor tempat pinger print dua perempuan itu juga menampakan keanehan yang sama dengan pak satpam, dan aku hanya tersenyum memaksa mereka juga untuk tersenyum, walaupun aku tahu setelah aku pergi mereka akan membicarakanku, apalagi mereka juga aktif di instagram. Aku sudah siap dengan pergunjingan itu.
Bagian keuangan, melewati ruangan tempat aku sebelum dipindahkan, ini hal yang luar biasa, suasana masih pagi belum ada yang datang, dibantu office boy aku memindahkan barang pribadiku ke meja baru di ruangan bagian keuangan.
Mataku jelalatan mencari meja Iqbal, aku telusuri setiap meja, dan di bagian pojok itu aku temukan nama Iqbal, mungkin dia belum datang. Tapi komputer di mejanya sudah menyala.
Beberapa orang mulai berdatangan aku meletakan dan memposisikan beberapa barang di meja baruku. Beberapa orang juga sama menampakan pandangan yang aneh dengan perubahanku, mungkin mereka pangling dan aneh, Aku yang hari kamis kemarin memakai rok mini di atas lutut, baju atasan nyetrit dengan bagian dada yang sedikit terbuka dan tali kaos dalam yang sebelah terlihat, rambut pendek dengan ujung sedikit merah, gincu merah dan senyuman khas namun palsu menghiasi pikiran orang-orang sebagai kesan pertama. Hari ini mereka juga akan mengalami kesan kedua terhadapku. Pagi itu aku sibuk berkenalan dan memahami setiap karakter orang di ruanganku, sampai siang, aku pandangi jam yang terdapat di layar monitor komputer sambil menyelesaikan beberapa pekerjaan, mataku sesekali memandang meja Iqbal yang orangnya belum juga datang. Kemana kamu Iqbal, aku lihat jam di layar monitor sudah 11.50 WIB sebentarlagi istirahat dan salat dzuhur. Ah kesan pertama di ruangan baru dengan perasaan kecewa yang bahkan aku tidak punya hak untuk kecewa, siapa aku untuk Iqbal? . Pesan WhatsApp dan mejamu yang kosong selalu menjadi derik yang panjang yang setia aku nantikan.
Bersambung….
*Munawir Syahidi Penulis Novel “Di Sudut Senja”