Catatan Kecil dari Munawir Syahidi*
Beberapa minggu yang lalu saya dihubungi oleh teman-teman BTJ sebutan untuk Boeatan Tjibalioeng yang merupakan salah satu komunitas kesenian yang ada di Cibaliung. Juga akhirnya membentuk ekosistem BTJ, mereka muda mudi yang hari bukan hanya berkesenian tapi juga suka berkebun, bertani sebagai salah satu unsur dalam kebudayaan. Sistem mata pencaharian. Mereka mengabarkan perihal garapan teater yang sedang mereka garap, yang tentu saja saya sambut dengan gembira.
Waktunya tiba, malam kemarin (16/12/23) saya bersama anak lelaki pertama saya datang sengaja untuk menyaksikan teman-teman Ekosistem BTJ mentas kalau kata Sutradaranya ini adalah peristiwa penting, kelahiran “malam ini kami teater Yahuma ngajuru (lahiran) jadi kami merasa berbahagia. Ungkap Adi Abdurrosadi sebagai sutradara pementasan.
Selepas Isa saya datang ke lokasi pementasan di GOR PGRI Kecamatan Cibaliung, ternyata penonton sudah ramai, bahkan mengantri untuk masuk dengan membayar tiket terlebih dahulu.
Penonton duduk teratur, sambil menunggu penonton masuk semua ke ruangan, telinga kami disuguhkan lagu-lagu yang kalau tidak salah judulnya “semangat agraria” yang digarap teman-teman BTJ. Coba cek, bener tidak itu judulnya?.
Penonton sudah masuk semua, saya menyebutnya hampir sesak, antusiasme penonton menggembirakan “Kami tidak menyangka malam ini begitu ramai penonton, kami sangat berbahagia” Ungkap Rizal Mahfud sebagai Direktur BTJ yang memberikan sambutan setelah dia memainkan calung renteng Khas Cibaliung itu.
Penonton semakin masuk pada suasana pementasan saat panggung mulai diberikan cahaya dari lampu yang diatur sedemikian rupa.
Sebelum pementasan, Iffan Sandekala membacakan puisi “Pesan Pencopet Kepada Pacarnya” Karya WS.Rendra, dibacakan dengan asyik dan menarik, pun penonton diajak untuk masuk pada pesan yang disampaikan pada puisi itu.
Saya juga kebagian membaca puisi, sebelum saya benar-benar membacakan puisi, saya coba melantunkan sebuah Jampi-jampiĀ yang dulu pernah diberikan Kakek kepada saya. Malam itu saya bacakan didepan ratusan penonton.
Selanjutnya, puisi berjudul “Kota Kata Kita” yang puisi itu pernah saya tulis dalam catatan di gaway. Malam itu saya ingin menyampaikan, betapa hati kita adalah kota, kota yang nyaman atau tidak kota itu?, atau rusuh?.
“Kami merespon kondisi sosial hari ini, hiruk pikuk peristiwa menyebalkan hari ini dengan mementaskan naskah ini, karena merasa mewakili apa yang terjadi hari ini” ungkap Abeng Farid.
Akhirnya, mulai juga, “Kota Tak Henti Bernyanyi” karya Ramatyan Sarjono, dan disutradarai oleh Adi Abdurrosyadi yang merupakan seorang penggiat kesenian dan kebudayaan di Cibaliung. Sutradara yang bagi saya adalah sahabat yang fokus dan konsisten berkesenian, Selom Elehem,
Adi Abdurrosyadi, pernah aktif di sanggar teater awal bandung tahun 2000-2006. menjadi Ketua Ikatan Remaja Masjid (IRMA) Al-Ishlah Sukajadi-Cibaliung, dan sesekali menjadi petani anggur di rumahnya. Garapan teater terakhir beliau adalah “EGO”.
Pertama penonton disuguhkan potongan lagu dari Iwan Fals
“Wajahmu seperti menyimpan duka
Padahal kursimu dilapisi beludruĀ
Ada apakah, Ibu?”
Seolah ingin membuka ruang imaji penonton, kita akan membicarakan Indonesia dan segal hal yang ada didalmnya.
Alunan musik yang dimainkan teman-teman pemusik membuat suasana semakin terbangun, musik yang menurut saya rapi dan bagus.
Latar taman yang mewakili sebuah kota, memunculkan tokoh pelacur, pedagang jagung, pedagang asongan? Atau orang gila? Pelanggan pelacur, yang akhirnya ada juga ibu-ibu yang membawa cerulit mencari suaminya yang suka ke taman bertemu pelacur, ada juga politisi partai yang dengan kekuasaanya hendak mengalih fungsikan taman. Menggusur pedagang jagung. Keriuhan kota dan segala permasalahannya, di sebuah taman yang pada kesempatan ini tetar Yahuma menampilakan property berupa pohon, lampu taman, kursi dan tempat sampah.
Ada monolog panjang dari seorang yang tadi saya sebut apakah dia orang gila atau pedangan asongan? Ada lagu yang juga dinyanyikan bersama, yang jujur sebagai penonton yang agak dibelakang duduknya saya kurang dapat mendengar lirik dari lagu-lagu yang diselipkan pada pementasan, juga pada beberapa percakapan.
Pun pada lagu pertama kemunculan para aktor “kebaya merah” kalau saja saya tidak hafal lagu itu mungkin tidak akan tahu juga liriknya.
Diluar daripada berbagai hal, saya sebagai penonton sangat berbahagia, bisa kembali merasakan suasana gedung yang sesak penonton, khusus untuk menyaksikan pementasan teater yang luar biasa, upaya, keberanian dan gagasan itu yang mahal. Sangat mahal. Sukses selalu BTJ, tetater Yahuma Yahuuuut. Saya tunggu garapan selanjutnya. Salut dan bangga.
Saya pulang, saya kendarai lagi motor Legenda itu menuju Cahaya Aksara, sesampainya di rumah, anak lelaki pertama saya bercerita kepada ibunya, tadi Kaka nonton kota tak berhenti bernyanyi.
*Munawir Syahidi, Cahaya Aksara.