Jaga Jagat, Jaga Jaga, Catatan dari Penonton Baris Terakhir

EXPLORE31 views

*Catatan dari Munawir Syahidi

Awal oktober 2024, Kita berpendapat musim hujan akan tiba, karena minggu minggu itu hampir bisa dipastikan setiap sore hujan turun.

Walaupun hujan itu belum mampu mengisi sumur-sumur gali yang dimanfaatkan masyarakat sekitar Cibaliung untuk memenuhi kebutuhan air harian. Jangan kaget di Cibaling ada yang harus membeli air, saat kemarau yang hampir 4 bulan itu. Lihatlah mobil bak yang membawa tandon air berlalu lalang di jalanan Cibaliung memenuhi pesanan. Mengapa sebagian wilayah di Cibaliung kekurangan air?

Apakah hutan kayu yang semakin hilang? Atau rumpun bambu yang semakin berkuran? Dua duanya mempengaruhi itu. Jagat harus terus dijaga.

Pertengahan oktober 2024, percakapan penting itu tentang bentroknya kegiatan di Cahaya Aksara dengan kegiatan di Boeatan Tjibalioeng yang menggarap sebuah aktivitas komunal yang semua temanya tentang bambu “Jaga Jagat” Kembali pada bambu, balik deui kana awi, yang beberapa bulan sebelumnya kami juga berdiskusi tentang penyusunan sebuah buku yang berisi tentang segala hal ihwal bambu yang ada di Cibaliung.

Kami meyakini kekuatan komunitas itu adalah kolaborasi, kegiatan di Cahaya Aksara masih aman untuk dimundurkan sampai akhir bulan oktober 2024. Kegiatan di Cahaya Aksara Kemah Aksi Penggerak Literasi.

Sepengetahuan saya, jaga jagat, diisi dengan begitu panjang rangkaian kegiatan, penanaman bambu di beberapa tempat di Cibaliung, workhsop pengolahan Rebung, atau orang Cibaliung menyebutnya iwung, workhsop membuat alat musik dari bambu, berlatih dan menciptakan lagu juga menjadi bagian rangkaian jaga jagat ekosistem Boeatan Tjibalioeng yang sering disebut BTJ, sampai saat mendekati acara puncak tanggal 17-19 Oktober 2024 pameran alat musik bambu, diskusi dan workhsop juga dilaksanakan yang berkaitan dengan tata kelola organisasi dan sustainable living, yang didalamnya membahas berbagai tema termasuk langkah dan strategi pemajuan kebudaayaan desa dengan pemateri Ubaidilah Muchtar. Dan dalam kesempatan lain juga digelar diskusi dengan berbagai pemateri termasuk Ayah Anirah Ki Pantun Baduy.

Tanggal 18 Oktober saya berkesempatan menemani ngobrol kang Ubai (Ubaidilah Muchtar) jujur saya pangling dengan Kebon Boeatan Tjibalioeng beberapa fasilitas sudah berdiri, kebon/kebun yang saya pikir bukan hanya menanam tanaman di tanah tapi juga menanam semua yang berkaitan dengan pemajuan kebudayaan. Kebudyaan yang setidaknya mencakup tujuh unsur kebudayaan semesta.

Umbul-umbul sudah satu minggu terpasang di jalan-jalan, di media sosial juga sering lewat, kegiatan Jaga Jagat yang setidaknya melibatkan 15 Seniman Cibaliung dan 5 Seniman Residensi yang berasal dari Kalimantan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Lampung dan Papua, berkolaborasi menampilkan 5 lagu yang digarap bersama selama beberapa bulan, dan ditampilkan live pada tanggal 19 Oktober 2024. Disengajakan datang bukan hanya untuk mengapresiasi tetapi juga untuk mengurangi dahaga rindu pada kegiatan kesenian yang berisi, apalagi kegiatan ini ada di Cibaliung, jauh dari pusat kota.

Diniatkan, saya bapak-bapak beranak tiga, sudah sepakat dengan istri untuk menonton acara ini, siang-siang saya sudah isi bensin, maklum kebiasaannya motor tua legenda itu kadang tidak terkontrol habis bensin, mengecek tekanan angin pada ban, karena motor tua itu akan membawa setidaknya empat orang manusia, saya yang terberat, anak ketiga kami tidak kami bawa, dititip ke tetangga.

Selepas Isya, kami berangkat dari tempat kami di Cahaya Aksara, Kp.Curug Luhur Desa Waringunjaya Kecamatan Cigeulis. Motor tua itu mesinnya terdengar mengeluh, melewati jalan yang tidak semuanya bagus.

Cuaca nampak cerah, bintang terlihat bersinar di langit malam, angin berembus, sampailah kami di desa Mendung Kampung Namprak, sebelah kanan menuju lokasi jalannya belum sempat diberikan penerangan, kontras dengan keadaan didalam yang terang dan ramai.

Setelah mengisi daftar hadir, saya menyalami beberapa kawan panitia dan tamu yang sudah duluan datang, duduk di tempat yang sudah disediakan serupa bangku dari tumpukan bambu, berundak, dan panggung utama konser itu berada di bawah. Semua orang bisa melihat karena posisinya berada di bawah, seperti di stadium. Pemandu acara sudah begitu semangat Nanda Jendol dan kawan sastrawan itu sudah bersiap melangsungkan acara.

Penonton sudah berkumpul, beberapa tamu undangan khusus juga sudah nampak hadir, acara dimulai dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu Semangat Agraria miliknya BTJ.

Sambutan pertama dari Rizal Mahfud sebagai si empunya acara, dia memperkenalkan satu alat musik bambu hasil dari kreatifitas penciptaan diberi na dawai baliung, dari Cibaliung dan baliung.

Kepala desa Mendung juga turut memberikan sambutan, dan terkahir memberikan sambutan Kabid Kebudayaan dari dari dinas Pariwisata dan Kebudayaan memberikan sambutan terakhir.

Pembawa acara memanggil pelukis yang berasal dari Komunitas Bunga Rumput, Wa Gebar Sasmita dan rekan-rekan naik ke atas pentas, memberikan lukisan yang dibuat saat kegiatan berlangsung. Lukisan yang menurut saya  menakjubkan.

Sebelum pentas utama, teman-teman pembawa acara mengundang ke atas pentas, Mas Danto dari Yogyakarta, yang kalau di internet cari namanya Sisir Tanah, membawakan tiga buah lagu yang syarat makna itu.

Berikutnya, acar inti itu datang juga. Teman-teman BTJ dan lima seniman residensi memasuki panggung, riuh tepuk tangan, lagu-lagu dalam bahasa sunda, dan dalam bahasa Indonesia itu ditampilkan penuh gairah dan kejutan.

Adi Abdurrosadi sang vokalis memberi warna lain dalam pementasan itu, berpadu dengan suara Siti Sri Rahayu yang merasuk pada tiap alunan nada yang dihasilkan dari alat musik bambu.

Ada begitu banyak kejutan dalam nada yang dipentaskan itu, saya lebih fokus pada beberapa makna  lirik yang disampaikan melalui lima lagu yang digarap itu. Jujur, saya sebagai pendengar kadang kehilangan kata, menerka kata apa yang diucapkan vokalis. Ingin menangkap makna yang disampaikan, beberapa artikulasi tidak sampai kepikiran saya yang duduk di barisan terakhir tempat berbaris yang disediakan itu.

Secara keseluruhan, menakjubkan, kata pak Lurah dalam sambutannya, “Nuhade iyeu di lewung” sebuah pertunjukan yang sejenak memalingkan saya dari gaway dan media sosial. Anak pertama saya meminjam gaway untuk merekam pertunjukan.

Dibawah langit berbintang, lampu-lampu panggung yang dikendalikan sebagai penambah suasana panggung itu jelas menambah suasana pertunjukan malam itu.

Lima lagu tidak terasa segera usai, ditutup dengan kolaborasi dengan Mas Danto yang pada kesempatan itu saya mencoba ikut melafalkan lirik dari lagu syarat makna itu.

Lelaki beranak tiga ini, tidak sempat berpoto-poto, karena sudah larut malam, anak ketiga harus segera dijemput, belum lagi kaki ini pegal karena sejak datang ke acara anak kedua saya tidur sampai pertunjukan berakhir.

Saya keparkiran, motor legenda itu kembali membawa kami ke Cahaya Aksara. Semoga tahun depan atau waktu dekat kembali dapat menikmati pertunjukan luar biasa itu. Teman-teman Ekosistem Boeatan Tjibaliung sehat dan terus berkarya, bukan hanya menonton saya ingin juga memberi pengalaman lain kepada anak-anak saya suatu peristiwa kebudayaan yang harus dirasakan dan disaksikan, oleh lintas generasi.

*Munawir Syahidi-Cahaya Aksara