Sarnali, Bersyukur jadi Tukang Cukur

EXPLORE8 views

Menjelang lebaran, saya berkunjung ke tempat kelahiran saya, Kp.Cimanggu. Tempat masa kecil saya yang penuh kenangan. Posisi rumah tidak banyak yang berubah, hanya model rumah yang mulai berubah. Atau sebagian tidak berubah. Untung jalan sejak tsunami 2018 jalan ke wilayah Cimanggu diperbaiki, perjalanan tidak terasa jauh karena jalan yang sudah semakin bagus. Ingat betapa susahnya waktu itu membawa logistik bantuan tsunami ke wilayah Sumur.

Setelah sampai di rumah, anak-anak langsung semangat ingin memancing, sementara saya menyiapkan peralatan dan umpannya.

Kepala mulai terasa gatal, mungkin karena berkeringat, atau karena rambut yang sudah mulai harus dipangkas.
Ya Akhirnya pangkas rambut. Ada satu tukang pangkas rambut yang kata ibuku menjelang lebaran ini tentu harus mengantri. Dalam pikirku luar biasa tukang cukur di kampung sampai mengantri. Akhirnya dengan dua anak lelaki yang juga rambutnya harus sudah dicukur, agar rapi saat hari raya. Melewati beberapa rumah tetangga dengan berjalan kaki, sampai juga di sebuah rumah, yang dari kejauhan sudah kelihatan beberapa motor terparkir, beberapa orang sedang bermain gaway, menunggu dan duduk di kursi yang disediakan. Ternyata yang menunggu bukan hanya yang diluar yang menunggu dicukur, didalam juga dua orang sedang menunggu giliran.

Dua tahun yang lalu saya pernah pangkas ditempat ini, masih diteras rumah, dengan cermin yang bahkan tidak ada bingkainya.

Hari ini, sudah ada ruangan khusus, lagu iwan fals dengan versi regae menemani kami yang menunggu giliran. Saya tertarik untuk mengetahui bagaimana perjalanannya menjadi tukang cukur yang tentu saja saya lihat bisa menghidupi ekonominya dan tidak harus merantau ke kota, seperti yang lain.

Namanya Sarnali, usianya 23 tahun, yang menurut pengakuannya dia memulai menjadi tukang cukur secara otodidak, tidak belajar, kursus, atau bekerja dulu kepada orang lain, Sarnali tidak melakukan itu.

Saya bertanya, bagaimana ceritanya? Jadi katanya dulu ada temannya yang punya mesin cukur yang dibelinya seharga Rp.50.000 dan dijual kembali kepada Sarnali Rp.20.000, mesin cukur itu yang dipakainya mencukur. Kemudian saya bertanya siapa orang yang pertama kali dicukur? Yang pertama dicukur namanya Arsim, yang tentu saja hasilnya kacau alias pitak.

Setelah itu dia mulai belajar teknik mencukur dari youtube, terus menonton, dipraktikan kepada yang datang kepadanya, hasil cukurannya secara kualitas meningkat, orang kampung mulai datang setiap harinya, harga sejak pertama buka lima tahun yang lalu sampai sekarang tarifnya tidak pernah berubah, anak-anak Rp.7000 dan dewasa Rp.10.000. Sarnali bilang, tidak enak kalau harus menaikan tarif.

Maka sejak lulus SMK itu Sarnali menggeluti pekerjaan sebagai tukang cukur di kampung, pilihan yang sudah dipertimbangkan matang, ada ibu yang harus Sarnali temani. Jika dia bekerja ke kota maka ibunya akan sendirian dirumah, tapi ketika dia bisa bekerja di rumah, maka ibunya yang sendiri itu bisa dia temani. Kata Sarnali, bapaknya meninggal saat dia kelas 5 SD. Kebahagiaannya bisa menjaga ibunya dirumah, akhirnya menjadi tukang cukur juga membuatnya bersyukur.

Menurut pengakuan Sarnali, setiap hari ada saja orang yang datang untuk dicukur setiap harinya, paling sedikit lima orang dihari normal, dan jika hari jumat atau menjelang hari raya tentu saja bertambah.

Satu minggu sebelum idulfitri sehari bisa ada 40 orang yang ingin dicukur, orang mengantri datang silih berganti, bahkan sampai pukul satu malam, pekerjaannya baru selesai.

Dia menambah keahlian, memahami peralatan, dan lain-lain hal ihwal mencukur dengan melihat di youtube atau tiktok.

Dan sore tadi saya merasakan bagaimana Sarnali mencukur, lembut dan cepat, hasil maksimal, yang biasanya saya dengar satu kalimat setelah selesai mencukur “okeh mantap” ucapnya sambil membereskan peralatan yang telah dipakai.

Dia berharap usahanya ini terus berkembang, dapat memberikan manfaat bagi orang-orang sekitar yang membutuhkan jasanya. (ms)