#3 Menghitung Detik Demi Kamu

PERTANIAN72 views

Ini bagian ke tiga dari cerpen bersambung yang ditulis Munawir Syahidi, untuk yang belum baca cerita sebelumnya silahkan klik DISINI

 

Besoknya aku mengaca diri, aku pandangi tubuhku yang hina ini. Seluruh tubuhku tanpa sehelai kainpun. Aku menjadi malu menatap diriku sendiri, tubuh lacur yang keseluruhannya telah dipandangi entah berapa laki-laki, kemudian munculah bayangan Iqbal dalam pikiranku wajah yang lembut jiwa yang penyayang. Dan pantaskah aku untuknya?

Pagi itu aku menjadi ingat setiap lapal doa yang aku teriakan di bangku madrasah diniyah, sekolah siang setelah keluar sekolah dasar, sekolah yang boleh berseragam bebas tapi berkerudung, boleh pake sendal jepit, dengan bangku panjang kami duduk menghadap papan tulis hitam, seorang guru sarungan menuliskan huruf-huruf arab dan kami belajar membacanya dengan riang. Kami tertawa tanpa beban, pada ruangan kelas yang sumpek kami lapalkan doa-doa, kami belajar salat dengan seluruh bacaannya. Jika istirahat tiba kami serbu es cincaw dengan campuran gula merah tanpa es, kampungku waktu itu bahkan belum masuk listrik. Nikmat sekali.

Aku pandangi tubuhku, aku raba wajahku, aku pegang bibirku yang penuh dosa ini, aku jambak rambutku yang lurus dengan ujung merah itu, aku tersenyum membayangkan aku yang ketika sekolah agama itu mengenakan kerudung kecil tertawa riang menapaki jalan becek dan memegang payung yang bagian pegangannya sudah patah. Aku kembali tersenyum getir.

Aku usap-usap pahaku, yang kadang sekarang lebih sering terbuka dan dinikmati laki-laki, padahal waktu kecil dulu aku malu ketika mandi di sungai bersama kawan-kawan kecilku sepulang sekolah Agama.

Aku malu membuka bajuku, dan kalau aku mandi memakai baju maka aku akan pulang dengan menerima omelan ibuku. Sudah lama tidak dimarahi ibu, aku rindu ibu memarahiku.

Aku pandangi lagi wajahku di cermin, aku membayangkan sekarang aku berkerudung, menutup dadaku yang lebih sering aku pakai untuk menggoda laki-laki. Pagi yang mengembalikan aku pada kenangan.

Hujan gerimis diluar, aku pandangi poto ibu yang terpasang di meja satu-satunya di kontrakan.

Sesekali ini aku pandangi potonya begitu dalam, bertahun-tahun aku tidak menganggapnya terlalu serius, hanya sekarang, aku pandangi poto ibuku, perempuan yang hatinya telah sakit karena perselingkuhan bapak.

Aku raba lagi setiap kenangan yang pernah tercipta, saat ibu setia mengajari aku menggunakan sepatu dan dan belajar menalikannya. Dia selalu merapikan kerudung yang aku kenakan, dia tersenyum dan kemudian dan mencium keningku dengan bangga.

Setiap kecupan keningnya adalah doa dan harapan ibu untukku. Ingin rasanya kembali kemasa dimana pagi seperti ini sarapan bersama menikmati apa saja yang ada, bahagia dengan segala kekurangan, walaupun saat itu bapak sudah jarang pulang ke rumah, kata ibu bapak sedang bekerja. Yang kemudian bertahun-tahun malah lupa hanya untuk sekedar untuk melapalkan doa untuknya.

Pagi itu, aku mau izin untuk masuk kantor, hari jumat, aku akan izin tudak masuk kantor. Entah mengapa aku hari ini hanya ingin merenungi diri.

Aku menelpon ibuku, aku sampaikan kepadanya bahwa aku akan pulang, dia bahagia sekali, mendengar kabar itu, sejak aku memutuskan untuk tidak pulang bertahun-tahun.

Kamu tahu besok adalah kepulanganku pertama kali ke rumah, setelah aku sengaja membuang diri, sekaligus aku kabarkan wisudaku kepada ibu, perihal pekerjaanku sekarang. Dia akan kaget kalau aku sudah diwisuda, kalau aku sudah bekerja.

Hari ini aku sibuk merenungi diri, aku malas untuk berpikir. Aku hanya mau aku lebih baik, kenangan masalalu yang bahagia, dan Iqbal yang mengapa wajahnya sejak pertemuan di kantin itu menggetarkan hatiku, sampai sekarang ini.

Ini malam sabtu, wajar saja banyak pesan masuk dari mereka yang membutuhkan kehangatan dan hiburan. Aku sudah tidak memperdulikan itu.

Akhirnya dari pagi aku yang hanya merenungi diri, mendengar suara adzan begitu indah di telinga, mampu meneteskan airmataku, untuk pertama kali, padahal suara muadzinnya yang itu saja, tidak ada yang berubah, hanya hatiku saja yang serupa batu.

Aku keluarkan semua pakaian dinlemari, aku mencari dimana mukena yang dulu ibu titipkan kepadaku, setelah bertahun-tahun aku akan coba memakainnya.

Setelah aku temukan mukena yang ternyata terselip paling bawah itu aku pandangi dengan lara hati, segera aku mandi dan mengambil wudu aku pandangi wajahku sekali lagi, aku kenakan mukena itu dengan segera kembali aku pandangi wajahku di cermin. Aku tersenyum.

Pertama kali setelah bertahun-tahun meninggalkan Tuhan hari ini aku hadapkan kembali wajahku, aku masih hafal bacaannya, dan beberapa surat pendek, dan ada kenikmatan tersendiri dalam jiwaku selepas aku pasrahkan diriku kepada Allah setelah sekian lama melupakannya. Nikmat sekali, air mataku menetes perlahan mngingat dosa yang diperbuat, puluhan wajah laki-laki membayang dalam pikiran, berbagai adegan berseliweran dalam ingatan, tinggal sesal. Tiada terhingga. Samapai asar aku terpaku ditempat salat, sampai waktu asar datang dan aku laksanakan salat.

Perutku terasa lapar, aku belum sempat minum, dan makan, “Tuhan terima kembali aku dihadapanmu”

Aku mulai berkemas, sore ini juga aku akan pulang, agar hari senin aku kembali bekerja di kantor.

Aku menyalakan gaway ada e-mail masuk rupanya dari kantor, mengabarkan aku pindah bagian di kantor, beserta lampiran SK aku lihat nama Iqbal Mutaqo yang menjadi kepala bagian keuangan dan aku akan satu bidang dengannya, satu ruangan dan akan sering bertemu karena pekerjaan. Mengapa aku menjadi sangat bahagia? Siapa dia bagiku?

 

Bersambung

 

*Munawir Syahidi TBM Saung Huma