Kehidupan kita diarahkan dan dibentuk oleh tiga kekuatan, satu kekuatan negara melalui undang-undang, kedua melalui tradisi, dan ketiga adalah oleh cara pandang agama. Kita tidak mengerti apa-apa kecuali ketika kita lahir harus seperti ini dan itu, tradisinya begini begitu. Dalam tradisinya, konteks pembahasan perempuan adalah sumur, dapur, kasur. Memfungsikan perempuan sebagai makhluk yang tugasnya dianggap sebagai kodratnya adalah di rumah, masak, mencuci, membersihkan dan patuh kepada suami. Itu sudah menjadi tradisi kita. Tapi tradisi juga kemungkinan dibentuk yang kita sebut simbiosis mutualistik, saling mengisi oleh cara pandang agama. Apa yang kita lakukan ini baik laki-laki maupun perempuan dibentuk diantaranya undang-undang, karena tradisi sifatnya tidak tertulis, kebiasaannya hanya itu saja, “Perempuan tunduk, perempuan sudahlah di rumah saja,” begitu masyarakat meng-kongsikan perempuan.
- Husein Muhammad, mantan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tahun 2007, beliau menyatakan pernah keliling seluruh Indonesia untuk memantau keberadaan perempuan di seluruh Indonesia, ditemukan fakta-fakta tentang banyaknya kekerasan terhadap perempuan, ratusan ribu, terus meningkat dan meningkat. Kemungkinan yang tercatat sekarang lebih dari 480.000 (empat ratus delapan puluh ribu) perempuan di seluruh Indonesia dalam satu periode setiap tahun, dan itu hanyalah yang dicatat melalui lembaga-lembaga hukum, lembaga negara, lembaga sosial, kepolisian seperti pengadilan, Women Crisis Center, dan lain sebagainya.
Kekerasan terhadap perempuan begitu padan di segala tempat, di segala ruang. Di rumah tangga sendiri, sekolah, pesantren, di ruang publik, di kendaraan, serta dimana-mana. Dan kekerasannya meliputi banyak hal, pertama kekerasan fisik, kedua kekerasan psikis, yang menyakitkan hati (hal ini termasuk pelecehan juga), ketiga adalah kekerasan seksual dan pemaksaan hubungan seks, ada pemerkosaan dan pelecehan, termasuk yang terjadi di dalam rumah tangga misalkan memaksa hubungan seks kepada istrinya, sedangkan istrinya sedang sakit, capek, dsb. Dan yang keempat adalah kekerasan ekonomi, seperti tidak diberi nafkah, menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), jutaan perempuan yang bekerja keluar negeri mencari nafkah bagi keluarganya karena tidak diberi nafkah oleh suaminya.
Fakta-fakta tentang kekerasan terhadap perempuan bisa menyangkut siapa saja pelakunya, macam-macam, semua orang. Entah dengan gelar, jabatan atau kehormatan apapun bisa melakukan kekerasan terhadap perempuan.
Nah, mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan?
Karena ia di subordinasi. Inilah satu-satunya alasan mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan, basisnya adalah ketidaksetaraan. Perempuan diposisikan sebagai makhluk domestik, di rumah saja, kelas dua, tidak bisa jadi leader.
Kemudian apakah agama seperti itu? Apakah negara memperlakukan perempuan secara subordinat? Apakah negara menjustifikasi perempuan sebagai makhluk kelas dua? Apakah per-undang-undangan dan peraturan daerah dan sebagainya menempatkan perempuan sebagai makhluk domestik? Kodratnya dirumah saja? Kodrat itu adalah sesuatu keputusan Tuhan yang tidak bisa di tukar menukar, dimana saja dan kapan saja. Kita sering tidak bisa membedakan antara gender dengan seks.
Ternyata memang betul, kalau dalam tradisi, perempuan konco wingking dalam bahasa Jawa, “teman di belakang”. “Kalau makan keluarga, suami dahulu laki-laki dahulu, perempuan, ibu, belakangan setelah selesai semua”.
Dalam kitab kuning di pesantren yang diajarkan bahwa perempuan tidak bisa jadi imam, tidak bisa jadi muadzin, tidak bisa iqomah, akikahnya laki-laki dua sedangkan perempuan satu, tidak bisa khutbah, tidak bisa menikahkan dirinya sendiri, tidak bisa jadi saksi dan banyak lainnya. Jadi, diskriminasi telah terjadi antar relasi laki-laki perempuan.
Dari mana semua ini?
Rupanya agama mendominasi pengaruh pandangan keagamaan, kebijakan negara, juga tradisi. Menjadi fokus kita akan problem besar ini adalah cara pandang agama yang menempatkan perempuan sebagai makhluk kelas dua.
Al-Qur’an menyampaikan yang menjadi sentral sistem relasi antara perempuan dan laki-laki adalah surah An-Nisa ayat 34, yang berbunyi:
وَٱلْمُحْصَنَٰتُ مِنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا مَلَكَتْ أَيْمَٰنُكُمْ ۖ كِتَٰبَ ٱللَّهِ عَلَيْكُمْ ۚ وَأُحِلَّ لَكُم مَّا وَرَآءَ ذَٰلِكُمْ أَن تَبْتَغُوا۟ بِأَمْوَٰلِكُم مُّحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَٰفِحِينَ ۚ فَمَا ٱسْتَمْتَعْتُم بِهِۦ مِنْهُنَّ فَـَٔاتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ فَرِيضَةً ۚ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ فِيمَا تَرَٰضَيْتُم بِهِۦ مِنۢ بَعْدِ ٱلْفَرِيضَةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu. Dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna), sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.
Hal ini memiliki konsekuensi-konsekuensi yang jelas sekali bahwa laki-laki adalah pemimpin kaum perempuan. Laki-laki diberi keutamaan dari Allah dibandingkan perempuan, karena itu perempuan-perempuan yang shalih adalah yang nurut, menjaga diri menjaga rumahnya, yang jika diajak suaminya tidak mau akan dianggap nusyuz, kalau dia nusyuz dia boleh di tempeleng, boleh dipukul.
Lagi-lagi menjadi tugas kita harus menyusun akan relasi yang timpang kekuasaan berpotensi bisa melakukan apa saja terhadap yang dibawahnya, bahkan kalau menentang, dosa, bahkan boleh dihukum oleh kekuasaan. Istri meskipun dia puasa setiap hari, rajin shalat malam, namun ketika dipanggil suaminya terlambat datang maka dia akan diseret dengan tangan dirantai, kaki dibelenggu kemudian dimasukkan ke neraka, sampai ke ujung neraka bersama-sama syaitan.
Perempuan, istri yang wajahnya cemberut dihadapan suami akan bangkit dari kuburnya wajahnya hutan legam, dan banyak sekali.
Meskipun perempuan sudah berusaha bekerja menghasilkan ekonomi, di dalam tradisi masa lalu perempuan tidak boleh sekolah, tapi apa yang menjadi masalah adalah cara pandang agama, cara pandang negara, tradisi, masih menempatkan perempuan sebagai makhluk dibawah kekuasaan laki-laki, oleh karena itu cara pandang seperti ini sangat berpotensi terjadinya kekerasan oleh kekuasaan. Dimanapun kekuasaan itu sepertinya punya hak kekerasan. Bapak terhadap anaknya, guru terhadap muridnya, dosen terhadap mahasiswanya, baik itu ketua ataupun direktur kepada siapa saja, negara terhadap rakyatnya. Disitulah masalahnya. Kita sebut sebagai tradisi kita, cara pandang keagamaan kita, cara pandang kebudayaan kita masih patriarkis. Patriarkisme adalah cara paham, cara pandang kekuasaan dalam kehidupan ini ada di tangan laki-laki. Karena itu terjadi kekerasan dimana-mana, kekerasan itu akibat dari cara pandang. Kemudian bagaimana agama memandang manusia? Bagaimana Tuhan memandang manusia?
Al-Qur’an menyebutkan manusia itu sama, yang paling utamakan akhlaknya, taqwanya, bukan jenis kelamin. Dinyatakan dalam Al-Qur’an surat al-Hujurat ayat 13:
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْا ۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗاِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ – ١٣
Wahai manusia! Sungguh, Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.
Bukan laki-laki atau perempuan, bukan suku bangsa ini itu, bukan kulit ini itu. Allah tidak melihat manusia pada rupa wajah dan tubuhnya melainkan melihat pada hatinya dan perbuatannya.
Nah kalau begitu bagaimana? Kok bertentangan? Bagaimana bertentangan? Setara atau beda Menurut Allah menurut agama? Menurut Al-Qur’an? Bagaimana laki-laki dan perempuan itu setara atau dibedakan? Perempuan di subordinat, bagaimana?
“Tauhid” suatu keyakinan bahwa hanya Allah yang Maha Kuasa, Maha Mulia, Maha Tinggi, harusnya selain Allah itu sama, membawa konsekuensi keharusan kita memandang selain Allah sebagai makhluk yang sama dihadapan Allah. Cara pandang Tauhid meniscayakan cara pandang kesetaraan manusia. Jadi, kesalahan-kesalahannya bukan karena dia perempuan bukan dia laki-laki, kelebihannya adalah kualitas individu masing-masing apakah laki-laki atau perempuan.
Maka, dapat saya simpulkan, dua poin besar yang menjadi rumusan menjadi basis kebijakan-kebijakan atau cara pandang negara maupun agama dan masyarakat kita yaitu:
- Perempuan masih didalam posisi subordinat;
- Perempuan sumber kekacauan sosial
*Mahasisa Akidah Filsafat Islam UIN “SMH” Banten