Oleh: Munawir Syahidi
Saya adalah orang yang gemar sekali mendengarkan cerita, dulu ketika saya seusia SLTA saya sering sekali mendengarkan cerita dari kakek saya yang ketika itu sudah tidak bisa bepergian karena sudah sepuh, tetapi ingatannya pada peristiwa-peristiwa masa lalu masih melekat dan lincah melalui lidah, selain jampi-jampi yang konon katanya dulu sangat ampuh. Petualangannya di Rangkasbitung, Lebak juga menjadi cerita yang seru untuk didengar, termasuk cerita tentang Baduy yang sering saya dengar dari Kakek yang bernama Sanari itu.
Bicara Baduy dia berbicara juga tentang Huma, tentang kebiasaan orang-orang Baduy, menurutnya Huma adalah mata pencaharian masyarakat Baduy yang masih bertahan sampai sekarang, kemudian dia mengatakan dahulu di wilayah Cibaliung dan sekitarnya termasuk Cimanggu, Huma juga menjadi tempat tumpuan masyarakat untuk bisa makan dengan menanam padi. Sayangnya kata Kakek, Huma tergeser oleh sawah yang menjadi program dari pemerintah, karena dianggap lebih mudah, di tengah hilangnya lahan karena jadi pemukiman dan diakuisisi pemerintah. Tidak ada kebebasan mengelola hutan di wilayah selatan yang notabene hutan dan lahan dikuasai negara untuk konservasi, sedangkan Huma yang baik tidak bisa setiap tahun digarap dan harus berpindah untuk menjaga kandungan kesuburan tanah, artinya huma yang dibuka tahun ini tidak bisa ditanami kembali untuk tahun berikutnya. Harus berpindah ke tempat yang lain, sementara masalahnya adalah lahan garapan semakin menyempit.
Sebelum bernama Cahaya Aksara gerakan literasi yang dimulai pada tahun 2014-an bernama Saung Huma dengan moto, “Dari Saung ini kita berencana dengan hasil huma mari mengenal dunia” penamaan itu memberi makna tersendiri bagi saya, bagaimana Huma sempat menjadi mata pencaharian masyarakat yang bukan hanya berbicara tentang isi perut tetapi isi hati dan tentu syarat makna dan pengetahuan yang berharga bagi masyarakatnya.
Di Saung Huma, program-program yang kami beri nama ketika itu Ngaseuk (Ngariung Santai Edukasi untuk Kehidupan) Ngayuman dan Ngoread, sehingga menjadi satu kesatuan aktivitas dari Huma itu sendiri, saya ingin memaknai Huma sebagai aktivitas belajar yang tumbuh alami.
Mengenal Rizal Mahfud, diawali dari ketertarikannya dengan nama Suang Huma dan nama-nama programnya, yang kemudian belakangan ini Rizal memaknai huma sebagai aktivitas yang lekat dengan makna jiwa petaninya, diekspresikan melalui musik, musik dan seni sebagai jembatan menumbuhkan kembali ingatan kolektif masyarakat sepuh tentang huma dan kenangan-kenangannya, juga menjadi jembatan untuk memperkenalkan huma kepada anak-anak muda. Rizal Mahfud mampu menerjemahkan huma pada bentuk lain yang lebih menarik melalui kegiatan yang dibangunnya bersama Boeatan Tjibalioeng yang mendekatkan anak-anak muda Cibaliung pada kegiatan berkesenian yang tema-tema karyanya fokus pada pertanian. Bagi saya itu membahagiakan.
Swara Jalawara Hawara, suara dari Huma menurut teman tema BTJ (Boeatan Tjibalioeng) adalah ikhtiar untuk mengajak generasi muda di wilayah
Pandeglang Selatan mengingat kembali memori tentang “Ligar Huma” di Pandeglang Selatan Kegiatan ini bertujuan untuk menggali memori warisan budaya yang berkaitan dengan huma, sistem pertanian tradisional ramah lingkungan di bekas wilayah Kawedanan Cibaliung yang tersohor karena keluasan huma-nya. Keluasan humanya, atau disebut juga dengan Ligar Huma, bukan tanpa data karena catatan masa lalu menunjukkan Cibaliung memiliki huma yang sangat luas. Berangkat dari itu maka kegiatan awal tahun 2023 ini perlu diapresiasi oleh semua kalangan.
Bagi anda yang tertarik untuk terlibat, maka datanglah, pada hari Sabtu 21 Januari 2023 ada diskusi yang digelar pada pukul tiga sore dengan pemateri Marsani (Petani Huma) Hendra Permana (Kurator Museum Multatuli) danĀ dari Dinas Pertanian Provinsi Banten.
Diskusi membahas huma dalam sejarah, huma di masa kini, dan potensi huma di masa depan, dari perspektif lingkungan, sosial, hingga ekonomi. Tema ini menarik untuk diperbincangkan, kemudian tentu saja jangan hanya didiskusikan, akan tetapi dibuat sejenis alur untuk kembali menjadikan huma sebagai aktivitas masyarakat kekinian.
Dalam diskusi tersebut juga kita akan menyaksikan penampilan teman-temanĀ Boeatan Tjibalioeng dengan penampil Rizal, Farid, Esa, Noval, Reza dan Tiar Band asal Cibaliung, Pandeglang yang terbentuk di tahun 2020 dan telah merilis lagu bertemakan agraria. Beberapa lagu yang akan dibawakan: Semangat Agraria, Huma(nis) dan Petani Aja.
Malamnya anda akan menyaksikan konser yang lebih besar dengan penampil, Ika Jamilatul, Adrian Putra, Yuda Az, Hani, Ikdal P,Aldy P, Fuadi, Haikal, Dendy, Kiwong, Teguh, Ifan Sandekala, Fatma, Muklis dan Mumu Mukri.
Kolaborasi musik dan seni lintas disiplin yang kata Rizal konsepnya
mempertemukan instrumen musik tradisional dari huma (angklung buhun, calung renteng, suling kumbang, gong lodong, omprang, lesung) dengan instrumen modern dan dikemas dengan gaya musik dunia. Sebuah upaya menjembatani jarak antara warisan tradisi huma dan generasi muda.
Dan tentu saja bisa bikin tenda dan menginap di kebun BTJ.
Berikutnya akan ada juga penanaman pohon juga sebagai upaya bahwa alam bagi petani dan pertanian adalah hal yang utama.
Semoga upaya-upaya yang dilakukan ini memberi kemanfaatan besar bukan hanya menumbuhkan ingatan kolektif bagi masyarakat sepuh tapi juga menumbuhkan semangat bagi anak-anak muda untuk bertani dan mencintai segala hal yang ada di dalamnya. Sukses dan rahayu, Swara Jalawara Hawara.
*Munawir Syahidi, Cahaya Aksara, penulis novel ‘Di Sudut Senja”