Menghadirkan Huma di Atas Pentas

EXPLORE85 views

Huma, apa yang anda pikirkan jika mendengar kata huma? Atau baru pertama kali mendengar kata Huma?

Atau pernah ke Huma? Kapan terakhir kali ke Huma?

Rijal Mahfud, pemuda yang sudah beristri ini punya cara tersendiri dalam mengekspresikan kerinduan dan segala hal tentang huma yang merupakan kenangan masa kecilnya yang dia tebus dengan sebuan pertunjukan.

Lelaki yang berusia 24 tahun ini asli orang Cibaliung yang sampai sekarang fokus pada kesenian.

  1. Kenangannya akan huma dia ekspresikan dengan pertunjukan dengan tajuk Swara Jalawara Hawara.

    Dalam uraiannya Rizal mengungkapkan Swara Jalawara Hawara (SJH)<span;> adalah suara-suara dari kerinduan generasi muda akan warisan tradisi Huma. Sebuah ekspresi budaya yang mempertemukan instrumen musik yang hadir dari semesta Huma di Banten Selatan dengan musik-musik dunia. Serta pertunjukan kolaboratif lintas disiplin seni yang memadukan seni musik dengan rupa, tari, pantomim, dan monolog dalam 4 lagu yang dibawakan.

    Karya ini jadi rangkuman sekaligus tumpahan rasa rindu dan keresahan atas tradisi huma di Cibaliung, Pandeglang-Banten yang semakin terkikis. Kerinduan pada kidung yang biasa dinyanyikan untuk kesuburan padi, kepada bunyi-bunyi seperti calung renteng, omprang, sampai lesung yang dulu ramai bersahutan dari huma dan saung.

    Lagu ini juga merepresentasikan proses ngahuma dari mulai narawas (meminta izin pada penguasa bumi dan langit), lalu proses liliuran dimana petani pada jaman dulu melakukan tradisi ngaseuk secara kolektif dalam satu lahan ke lahan lain, saling membantu satu sama lain, hingga padi berhasil dipanen.

    Sebuah harapan bahwa hasil yang didapat berkah melimpah, saeutik mahi loba nyesa artinya meski sedikit hasilnya bisa mencukupi, jika hasilnya banyak ingin tersisa.  Cangkang eusi sarua loba artinya semoga hasil panen tidak ada yang terkena hama, tidak ada bulir padi yang hapa (tak berbuah).

    Penciptaan Karya Kreatif Inovatif oleh Rizal Mahfud ini didukung oleh Program Dana Indonesiana, suatu Program Kolaborasi Pemanfaatan Hasil Kelola Dana Abadi Kebudayaan oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan LPDP.

    SJH dipentaskan pertama kali di Cibaliung, di Kampung Namprak, Desa Mendung.

    Lalu, sempat dipentaskan di Tani Fest yang diselenggarakan oleh HKTI (Himpunan kerukunan tani Indonesia)

    LPDP FEST, kegiatan yang diselenggarakan oleh Kemenkeu.

    Rencananya, bulan oktober akan dipentaskan di Festival Budaya Surosowan yang diadakan oleh Balai Pelestrian Kebudayaan Wilayah 8

    Dalam  LPDP Fest ini Lagu yang dibawakan yaitu 3 aransemen dan 1 lagu karya baru

    Melibatkan pemain musik 12 orang pantomim 1 orang tari 2 orang
    Juru kidung 1 orang pembaca puisi 1 orang

    Rijal melanjutkan, semakin hilang dan tergerusnya pola pertanian huma dan warisan tradisinyanya di masyarakat, serta kurangnya minat generasi muda untuk mempelajarinya dari para pelakunya yang kini semakin renta, menjadi salah satu masalah yang mendasari konsep karya inovatif ini. Harapannya, melalui rekacipta tradisi lama ke dalam bentuk baru yang lebih relevan bagi generasi muda akan membantu warisan tradisi huma untuk tetap hadir sebagai seni pertunjukan, tanpa mengesampingkan muatan edukasi yang dapat menjadi sumber pengetahuan mengenai huma. Seperti pupulih, saya berharap karya ini dapat hadir sebagaimana fungsi yang diyakini masyarakat pendukungnya “magahan budak, ngerencep-rencep budak pangpagaheun kana kaelmuan dunya, ngalancarkeun kana hate,” dengan kata lain: menjadi sarana edukatif berisi ilmu pengetahuan kehidupan yang meresap lekat di hati.