Siang itu, sekira pukul 12.30 WIB di layar gaway ada sebuah tanda panggilan tidak terjawab pada aplikasi WhatsApp dari nomor yang biasanya urusannya adalah spanduk, saya hubungi ulang siapa tahu peluang cuan, atau setidaknya ada sesuatu yang perlu dibicarakan, sebisa mungkin selain selain seorang pendidik saya juga punya aktivitas usaha percetakan dan penjualan ATK yang dijaga seorang penjaga toko, usaha pada bidang percetkan memang sudah lama saya tekuni sejak kuliah.
Ternyata, setelah saya hubungi urusannya bukan tentang mencetak spanduk atau yang lain, tetapi tentang kegiatan yang disebut dengan workshop penigkatan mutu pendidikan di SMA Negeri 16 Pandeglang, mengabarkan jika kegiatan tersebut akan dilaksanakan pada tanggal 24 Februari 2024, saya belum bisa memberikan kepastian kehadiran, karena sebelumnya saya juga diundang ke Perpustakaan Saijah Adinda Rangkasbitung Kabupaten Lebak. Ada lomba meresensi buku untuk siswa SLTP dan SLTA se kabupaten Lebak, yang waktu pelaksanaanya saya belum tahu, karena undangan hanya untuk merumuskan kegiatan tersebut.
Saya katakan mungkin saya bukan orang yang tepat mengisi materi, saya hanya ingin berdiskusi dan bersama-sama menyelesaikan masalah bersama tentang peningkatan minat baca.
Selesai sudah saya pertemuan di Rangkasbitung, dan ternyata waktu kegiatan lomba tersebut masih lama, dan saya pastikan tanggal 24 Februari bisa bersua dengan teman-teman di SMAN 16 Pandeglang, sekolah yang sering saya dengar, tapi jujur, saya belum pernah berkunjung ke sekolah tersebut, yang saya tahu sekolah tersebut berada di kecamatan Sumur, sebelum pasar Sumur belok kanan, ke sebuah gang yang ditandai plang sekolah. Itu menjadi patokan saya nanti.
Beberapa kegiatan memaksa saya untuk mengerahkan pikiran dan tenaga lebih, meski pikiran saya terus juga teringat kegiatan yang akan saya laksanakan, panitia mengatakan kegiatan tersebut dilaksanakan pukul 13.00 WIB, maka saya harus berangkat maksimal pukul 11.30 WIB dari rumah saya di Cahaya Aksara.
Setelah menyiapkan materi yang pernah juga saya pakai dibeberapa sekolah, dengan sedikit perubahan, saya pastikan saya berangkat, sepengetahuan saya, masalah literasi selalu memiliki masalah yang sama.
Dengan motor Legenda 2, saya berangkat, cuaca cenderung panas, saya yang biasa memakai jaket Ketika akan bepergian, siang itu memutuskan untuk tidak memakai jaket karena menuruti perasaan, “pasti panas” saya pacu kendaraan sebisa mungkin, menyusuri jalan yang sudah bagus dan mulus, untuk jalan yang berada di wilayah ujung Pulau Jawa, satu jam kemudian saya sampai di Masjid Cimanggu, segera saya berwudhu dan ikut barisan yang ternyata baru rokaat pertama. Ya saya masih kebagian ruku.
Setelah bersalaman dengan beberapa orang yang tentu saja saya kenal, saya pacu lagi si kuda besi tua itu, di bawah Terik matahari Tengah hari yang cenderung panas karena sepertinya ada awan gelap yang menggelayut dilangit, saya berharap tidak turun hujan karena hujan akan menghambat perjalanan.
Perjalanan setelahnya terasa lebih sejuk karena melewati wilayah Hutan Lindung Taman Nasional Ujungkulon.
Sebelum Pasar Sumur, sebelum pertigaan sumur, saya mencari-cari plang sekolah yang saya tuju, ya, ada plang SMAN 16 Pandeglang. Saya arahkan motor saya memasuki gang yang juga memasuki wilayah pemukiman warga, dengan jalan beton yang sudah mulai rusak, sampai saya di SMAN 16 Pandeglang, ada tulisan besar dari gerbang yang terlihat, Pojok Literasi yang disusun dari botol plastik bekas.
Saya diarahkan ke ruang Tata Usaha, disambut oleh beberapa guru dan pelaksana di Tata Usaha, termsuk ada seorang yang saya sudah kenal, disuguhkan kopi yang saya pesan, khusus kopi pahit.
Beberapa kilo meter dari sekolah ini adalah laut, cuaca panas yang lebih cocok disebut orang Sunda “Baringsang” menjadi suasana yang khas wilayah yang dekat laut.
Waktu sudah menunjukan pukul 13.00 maka segera semua orang masuk ruangan, termasuk saya, sambil menunggu beberapa orang yang belum datang dan menyelesiakan kendala teknis pada proyektor yang entah mengapa perangkat laptop yang saya bawa tidak dapat tersambung ke proyektor.
Setelah benar-benar siap, moderator sudah mempersilakan saya untuk memulai, maka saya mulai apa yang disebut sebagai pembuka, karena tentu saja dihadapan saya adalah ibu dan bapak guru yang sebenarnya juga menguasai materi tentang literasi ini, maka saya lebih senang untuk menjadikan pertemuan tersebut sebagai sebuah diskusi, sesi yang semua orang termasuk saya dapat mengambil pelajaran.
Diskusi tentang literasi menjelang bulan ramadan ini bersaing dengan Munggahan, orang-orang ramai ke pantai atau tempat yang memunginkan untuk makan bersama. Harusnya kegiatan ini juga diberi nama munggahan literasi.
Saya awali denga napa yang disebut dengan tri pusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara, pendidikan rumah, pendidikan sekolah dan pendidikan masyarakat. Karena berbicara literasi atau peningkatan minat baca adalah aktivitas keseluruhan yang tidak hanya dapat dilakukan di sekolah, peran rumah dan orang tua menjadi sesuatu yang tidak bisa disepelekan, karena pola asuh, bahkan kebiasaan sejak dini mempengaruhi kebiasaan membaca ini.
Apakah kemudian harus sejak dini anak-anak harus dipaksa membaca? Memaksakan membaca pada anak-anak usia TK menurut saya adalah sesuatu yang salah, anak-anak TK hanya harus dirangsang dan diperkenalkan tanpa harus dipaksa untuk bisa membaca, aktivitas lain yang bisa dilakukan adalah misalnya memperkenalkan anak-anak pada buku cerita yang bahkan buku cerita saja sudah dikategorikan berdasarkan usia, jumalah kata dan isinya. Anak-anak lebih mudah melihat, misalnya orang tuanya suka membaca buku, maka dia berpikir juga ingin membaca, atau misalnya bercerita, ini justru merangsang anak untuk dapat berimajinasi, dan saya katakana bahwa imajinasi itu mahal. Kebiasaan memaksakan satu materi tertentu termasuk membaca pada anak-anak usia dini memungkinkan anak berpikir bahwa membaca adalah sesuatu yang membosankan, dan itu akan tertanam sampai dewasa. Harus ada keseimbangan saat memperkenalkan bacaan kepada anak-anak.
Masalah berikutnya tentang minat baca di kalangan remaja, atau anak usia SLTA, tentu memiliki tantangan tersendiri yang lebih berat. Pergaulan, faktor lingkungan, penggunaan gaway pada sesuatu yang kurang bermanfaat, menjadikan membaca menjadi sesuatu yang asing. Metode yang dilakukan dan pendekatannya harus benar-benar dirancang sedemikian rupa agar kegiatan literasi di sekolah menjadi menyenangkan. Misal, anak-anak yang senang menggunakan media sosial, senang eksis, maka itu harus dimanfaatkan dengan menyambungkan aktivitas program literasi dengan yang mereka sukai itu, contoh jika anak-anak diberikan tugas untuk membaca buku tertentu dan ditugaskan untuk meresensi atau merangkum atau cerita ulang, maka bisa memakai media yang mengungkinkan hasilnya tersebut bisa di unggah di media sosial sebagai bentuk eksistensi dan kebanggaan bagi siswa. Meskipun tidak semudah itu.
Ada dorongan melalui penghargaan dan persaingan antar kelas yang berkaitan dengan literasi, seperti pemaparan buku atau tema tertentu yang di sampaikan didepan khalayak sekolah, seperti sebuah seminar yang bahkan anak-anak kelas berlomba untuk membuat poster dan penampilan yang menarik saat memaparkan buku atau tema tententu, meskipun tidak semua orang dikelas bekerja tetapi setiap kelas ada pionir yang dekat dengan buku dan literasi, dalam jangka panjang kelas akan terpengaruh jika penanganannya tepat.
Peran guru mata pelajaran juga menjadi penting, karena literasi akhirnya bukan hanya berkaitan dengan pelajaran bahasa Indonesia, tetapi semua mata pelajaran, maka membahas buku atau referensi yang lain yang berkaitan dengan tema yang dibahas dalam mata pelajaran juga sesuatu yang perlu didorong, buku penunjang pembelajaran menjadi amunisi untuk meningkatkan literasi di kalangan siswa.
Gerakan Literasi Sekolah (GLS) harus dirancang menyenangkan dan sesuai dengan kecenderungan siswa, meskipun masalah lain selalu muncul, maka analisis masalah dan evaluasi harus terus dialakukan pada setiap program, termasuk program literasi di sekolah, tim penggerak literasi di sekolah harus berpikir ekstra untuk membaca kecenderungan siswa sekaligus mencari solusi dari setiap masalah yang ada.
Gerakan literasi tidak bisa dibangun dalam waktu yang singkat perlu di atur, setidaknya harus ada perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi, dan tahapan tadi itu juga memiliki syarat yaitu, orangnya, uangnya, metodenya, materinya, dan marketingnya, maka setiap upaya kebaikan termasuk penigkatan kegemaran membaca atau literasi juga harus masuk pada wilayah manajerial yang memadai dan maksimal.
Setelah pemaparan dan menerima beberapa pertanyaan, saya mengakhiri pemaparan dan berharap kegiatan dan materi yang saya sampaikan bermanfaat, atau setidaknya memberi dorongan bagi Gerakan literasi di manapun, karena sekali lagi, Gerakan literasi adalah gerakan semua orang. Satu sama lain saling mempengaruhi.
Setelahnya saya pulang, dan disepanjang jalan saya menyaksikan anak-anak kecil di depan rumah atau warung-warung sedang asik bermain gaway, ada yang sepertinya sedang melihat video pendek, ada yang sedang bermain game, bahkan anak-anak itu juga saya lihat saat saya menuju SMAN 16 Pandeglang, dan Ketika saya pulang juga gaway di tangannya belum juga lepas.
*Munawir Syahidi (Cahaya Aksara)