Ini Pasar Malam
“Bukan pasar malam” Karya Pramoudya Ananta Toer, sebuah kisah yang berbicara tentang seorang anak cikal yang meninggalkan kota Blora ke Jakarta dan harus kembali karena panggilan orang tuanya yang sedang sakit TBC.
Seorang bapak yang dahulu kokoh, tegas dan seorang tokoh politik itu hanya bisa terbaring lemah. Sang anak menyadari betapa kesedihan menyelimuti keluarganya. Dan menyelimuti dirinya juga. Sampai pada akhirnya keinginan pulang ke Jakarta ditolak bapaknya. Dia harus menyaksikan kematian ayahnya.
Hidup bukan seperti pasar malam orang datang berduyun duyun dan kemudian dapat memilih pulang bersama sama. Di dunia datang dan pergi tidak dapat direncanakan dan tidak dapat diatur pengunjung.
Malam itu, saya sedang membuat waktu yang berkualitas untuk kelurga, dengan istri dan anak saya, kami mengunjungi pasar malam yang berada di Desa Teluk Labuan.
Ramai sekali, bulan ramadhan, terdengar dari pelantang suara masjid yang sedang menjalankan tarawih. Di arena pasar malam keriuhan tersendiri seperti sebuah dunia yang ramai penuh warna warni mengisyaratkan kebahagiaan. Suara tawa jeritan muda mudi yang menaiki wahana, suara anak-anak yang menaiki istana balon, orang tua yang sibuk memantau dan merayu anaknya. Muda mudi yang asyik swapoto dan anak-anak yang berlarian tidak menentu.
Orang datang untuk mencari hiburan dan kesenangan. Orang tua belajar memberikan kebahagiaan kepada anak-anaknya. Harga tiket dari Rp.10.000 sampai dengan Rp.15.000 tergantung wahananya.
Mereka bekerja dengan satu sistem, pembelian tiket pada tempat yang sudah ditentukan pada setiap wahana. Tidak ada yang akan menjadi calo, mereka hanya bekerja dari setiap wahana.
Riuh pedagang pakaian dan makanan, bunyi tukang es, semua menjadi satu kesatuan menjadi keriuhan dan suasana tersendiri.
Diantara semua keriuhan yang berjualan, ada seorang pedagang buku-buku agama yang nampak terkantuk menunggu pembeli, tidak ada yang sekedar menawar dagangannya. Orang hanya lewat bahkan yang tertarik datangpun enggan.
Sebuah usaha bersama, betapa membangun manusia memang tidak semudah membangun wahana-wahana.
Orang-orang datang sesukanya dan pergi semaunya. Orang bebas memilih yang dibelinya tukang buku di pasar malam boleh bernegosiasi dengan nasibnya.
*Munawir Syahidi-Cahaya Aksara TBM Sung Huma